Jumat, 31 Mei 2013

Komik Bukan (Cuma) Bacaan Anak-anak

 Beberapa minggu lalu ketika terlibat obrolan di kantin CCF bersama teman-teman komikus, salah satu dari mereka mengeluhkan dan tidak setuju kalau komik dipersepsikan sebagai bacaan untuk anak-anak saja. Ia pun menambahkan, orang yang bilangkalau komik itu hanyalah bacaan untuk anak-anak, peri saja ke neraka. bahkan dia menambahkan, kalau ia tuhan ia akan memerintahkan umat manusia untuk membaca komik.

            Terlepasa dari guyonan tersbut, pikiran saya kembali terusik dengan pandangan orang dewasa yang (masih) menganggap komik bacaan untuk anak-anak. Tidak adil rasanyamenjudge seperti itu. Karena bagaimanapun, komik adalah sebuah media, sama seperti media-medai lainnya seperti film, musik, drama, ataupun lukisan.

            Pendapat bahwa komik (hanya) bacaan untuk anak-anak jelas-jelas salah. Bukankah banyak komik-komik dengan konten-konten "dewasa". Dan tak sedikit pula komik yang menampilkan adegan seks atau kekerasan (hal yang sangat jelas bukan untuk komsumsi anak-anak). Melihat itu, masih mau bilang kalau komik hanya bacaan untuk anak-anak?

            Secara tampilan, sulit dipungkiri bahwa komik disukai anak-anak, karena pada dasarnya anak-anak lebih menyukai gambar daripada tulisan. Karena bagi anak-anak, gambar tentu saja menarik. Dalam gambar, mereka bisa melihat apa yang tidak mereka lihat dan ada di sekitar mereka, hingga makhluk-makhlu imajiner. Bukan anak-anak saja, bahkan orang dewasa pun menyukai gambar.

            Kelebihan bahasa gambar inilah yang menjadikan komik punya nilai jual tersendiri dibanding buku-buku atau bacaan lain yang isinya tulisan melulu. Dan ketertarikan anak-anak akan bahasa gambar --yang melahirkan stigma bahwa komik bacaan untuk anak-anak-- bukanlah hal yang perlu diperdebatkan lagi, melainkan bisa dijadikan peluang.

            Peluang, bagaimanapun, selalu terdapat berbagai kemungkinan di dalamnya: berhasil atau tidak. Dalam jangka pendek, membuat komik untuk anak-anak adalah peluang untuk memperkenalkan tokoh atau cerita yang kita miliki. Sedangkan untuk jangka panjangnya, bila  pasar (anak-anak) menyukai tokoh yang kita buat mereka akan tetap mengingatnya hingga dewasa nanti, dan tidak menutup kemungkinan merekalah yang menjadi "agen-agen penerus"  yang memperpanjang umur komik kita. Yap, balik lagi, ini hanyalah sebuha peluang.

            Namun bukan hal yang mudah juga membidik pasar anak-anak melalui komik. Boleh dilihat brand-brand besar seperti Doraemon atau Walt Disney. Mereka tidak hanya muncul melalui komik. Ada serial animasi, layar lebar, hingga merchandise, yang ujung-ujungnya membutuhkan biaya amat besar. Dan tidak semua orang berani berspekulasi untuk hal itu. Tapi tidak perlu takut. 'Toh kedua raksasa tersebut tidak serta merta muncul dan menjadi besar. Ada proses panjang yang telah dilalui.

            Jadi dalam kasus barusan, komik tidak berdiri sebagai produk tunggal semata, melainkan terintegrasi dengan product extention-nya. Dan akhirnya, lebih meluas, komik bukan masalah konten atau "wujud ragawi" komik itu sendiri, melainkan menjadi sebuah bisnis.

            Kembali pada bahasan awal yang menanggapi komik sebagai bacaan untuk anak-anak. Sebagai bagian dari media, komik harus tetap dipandang secara proporsional. Artinya, komik adalah media yang bisa dinikmati oleh siapa saja. Namun sebagai peluang bisnis, tidak ada salahnya menciptakan segmen pasar sendiri untuk anak-anak. Yang namanya peluang 'kan selalu ada dua kemungkinan: behasil atau tidak, atau, tidak atau berhasil.

Sumber:
https://www.facebook.com/notes/ahmad-ikhwanul-muslimin/komik-bukan-cuma-bacaan-anak-anak/10150101553495796

Tidak ada komentar:

Posting Komentar