Hukum Adat Nias ini terkenal dengan sebutan Fondrakö, yang ditetapkan untuk mengatur tata kehidupan masyarakat Nias dengan sanksi berupa kutuk bagi yang melanggarnya. Menurut Viktor Zebua, istilah Fondrakö berasal dari kata rakö, artinya: tetapkan dengan sumpah dan sanksi kutuk. Fondrakö merupakan forum musyawarah, penetapan, dan pengesahan adat dan hukum. Bagi yang mematuhi fondrakö akan mendapat berkat dan yang melanggar akan mendapat kutukan dan sanksi.
Seperti halnya mitos tentang asal-usul orang Nias yang konon diturunkan “nidada” dari langit “Tetehöli Ana’a”, maka Fondrakö ini diturunkan bersama dengan Hia Walangi Sinada di
daerah Gomo (Bagian Selatan Nias). Seiring dengan bertambahnya jumlah
penduduk Nias maka para raja dan tetua adat bermufakat untuk membaharui
peraturan yang ada sesuai dengan kondisi dan kebutuhan masing-masing
rakyatnya.
Proses pengesahan Fondrakö
ini terkesan mistis dan mengerikan (menurut penulis), karena melibatkan
binatang atau benda yang diumpamakan sebagai siksaan atau kutuk yang
akan dialami oleh para pelanggarnya. Fondrakö
ini dilaksanakan di “Arö Gosali” (Rumah musyawarah) yang dihadiri oleh
raja dan para tetua adat. Mereka menetapkan Fondrakö dengan menggunakan
ayam, lidi, dan timah panas. Salah seorang tetua adat akan
mematah-matahkan lidi atau kaki dan sayap ayam serta menuangkan timah
panas ke dalam mulut ayam tersebut. Saat melakukan ritual tersebut, dia
akan mengucapkan kutuk “Barangsiapa yang melanggar segala sesuatu yang
telah ditetapkan dalam Mondrakö ini, maka dia akan segera mati (patah
seperti lidi), atau disiksa seperti ayam yang kaki dan tangannya patah
serta segala yang dimakannya akan terasa panas seperti timah panas yang
dimasukkan ke mulut ayam”. Terkadang, mereka juga menggunakan kucing
atau anjing dengan kutuk “Lö mowa’a ba danö ba lö molehe ba mbanua” yang
artinya tidak bakalan memiliki keturunan.
Pada
masa itu (terutama sebelum masuknya ajaran agama Kristen ke Pulau
Nias), Fondrakö ini sangat dipercaya memiliki kekuatan dan banyak yang
mengalami kutuk seperti yang telah ditetapkan para tetua tersebut.
Selain Fondrakö, adapula hukuman lainnya bagi individu yang melanggar
peraturan, mulai dari denda emas dan babi, hingga hukuman pancung
(leher dipenggal). Proses memancung leher adalah dengan menidurkan orang
yang akan dihukum di atas tanah dan lehernya diletakkan di atas batang
pisang, barulah eksekusi dilakukan.
Seperti halnya raja-raja lainnya, Fondrakö
juga dilakukan di Talu Nidanoi dan Laraga (daerah Gunungsitoli Idanoi
dan Gunungsitoli Selatan) oleh dua raja besar di masa itu yakni Balugu Samönö Ba’uwudanö (Mado Harefa) dan Balugu Tuha Badanö
(Mado Zebua). Seiring dengan perkembangan zaman dan pengenalan
masyarakat akan agama maka kepercayaan akan kutuk tersebut sudah mulai
berkurang (sekalipun masih ada yang hingga saat ini masih
mempercayainya, terutama para tetua-tetua adat di Pulau Nias). Sementara
hukuman pancung sudah mulai berkurang di Nias sejak kedatangan para
misionaris yang menyebarkan agama kristen sejak tahun 1830.
Penulis
pernah mendengar cerita dari para orang tua di masa kecil, bahwa
apabila kedapatan orang yang berbuat zina maka akan dikenakan hukuman
pancung baik pria maupun wanitanya. Dahulu, komunikasi antara pria dan
wanita yang tidak memiliki hubungan saudara sangatlah dibatasi, apalagi
bila sampai ketahuan pacaran. Dilarang mengganggu atau melirik anak
gadis orang bahkan mengerlingkan mata sekalipun, apabila ketahuan maka
bersiap-siaplah untuk digebuki oleh saudara-saudara si cewek.
Pertengakaran antar kampung seringkali diawali oleh masalah “melirik
atau mengganggu cewek” di masa lampau. Bahkan sekalipun sudah
bertunangan, pria dan wanita tidak boleh bertemu. Mereka baru bisa
bersama setelah menikah. Sistem perjodohan berlaku pada masa itu,
seringkali pengantin perempuan baru mengenal wajah pengantin prianya
setelah acara pernikahan. Sehingga apapun dan bagaimanapun kondisi yang
menjadi pendampingnya harus diterima, sekalipun dia cacat ataupun sudah
tua. Terima saja apa adanya.
Sumber:
http://sosbud.kompasiana.com/2013/02/19/fondrak-peraturan-dan-hukum-adat-nias-yang-mengutuk-536424.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar