Jumat, 31 Mei 2013

Peraturan dan Hukum Adat Nias yang Mengutuk,Fondrakö

Pulau Nias, selain terkenal dengan eksotisme pantainya dan ombaknya yang sudah mendunia, juga terkenal dengan kekayaan budaya dan adat istiadatnya. Seperti halnya suku lainnya di Nusantara, Nias memiliki hukum adat yang telah dibuat oleh para Raja dan Tetua Adat di zaman dulu yang hingga sekarang masih tetap berlaku sekalipun sudah banyak yang berubah dan ditinggalkan.
Hukum Adat Nias ini terkenal dengan sebutan Fondrakö, yang ditetapkan untuk mengatur tata kehidupan masyarakat Nias dengan sanksi berupa kutuk bagi yang melanggarnya. Menurut Viktor Zebua, istilah Fondrakö berasal dari kata rakö, artinya: tetapkan dengan sumpah dan sanksi kutuk. Fondrakö merupakan forum musyawarah, penetapan, dan pengesahan adat dan hukum. Bagi yang mematuhi fondrakö akan mendapat berkat dan yang melanggar akan mendapat kutukan dan sanksi.
Seperti halnya mitos tentang asal-usul orang Nias yang konon diturunkan “nidada” dari langit “Tetehöli Ana’a”, maka Fondrakö ini diturunkan bersama dengan Hia Walangi Sinada di daerah Gomo (Bagian Selatan Nias). Seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk Nias maka para raja dan tetua adat bermufakat untuk membaharui peraturan yang ada sesuai dengan kondisi dan kebutuhan masing-masing rakyatnya.
Proses pengesahan Fondrakö ini terkesan mistis dan mengerikan (menurut penulis), karena melibatkan binatang atau benda yang diumpamakan sebagai siksaan atau kutuk yang akan dialami oleh para pelanggarnya. Fondrakö ini dilaksanakan di “Arö Gosali” (Rumah musyawarah) yang dihadiri oleh raja dan para tetua adat. Mereka menetapkan Fondrakö dengan menggunakan ayam, lidi, dan timah panas. Salah seorang tetua adat akan mematah-matahkan lidi atau kaki dan sayap ayam serta menuangkan timah panas ke dalam mulut ayam tersebut. Saat melakukan ritual tersebut, dia akan mengucapkan kutuk “Barangsiapa yang melanggar segala sesuatu yang telah ditetapkan dalam Mondrakö ini, maka dia akan segera mati (patah seperti lidi), atau disiksa seperti ayam yang kaki dan tangannya patah serta segala yang dimakannya akan terasa panas seperti timah panas yang dimasukkan ke mulut ayam”. Terkadang, mereka juga menggunakan kucing atau anjing dengan kutuk “Lö mowa’a ba danö ba lö molehe ba mbanua” yang artinya tidak bakalan memiliki keturunan.
Pada masa itu (terutama sebelum masuknya ajaran agama Kristen ke Pulau Nias), Fondrakö ini sangat dipercaya memiliki kekuatan dan banyak yang mengalami kutuk seperti yang telah ditetapkan para tetua tersebut. Selain Fondrakö, adapula hukuman lainnya bagi individu yang melanggar peraturan, mulai dari denda emas dan babi, hingga hukuman pancung (leher dipenggal). Proses memancung leher adalah dengan menidurkan orang yang akan dihukum di atas tanah dan lehernya diletakkan di atas batang pisang, barulah eksekusi dilakukan.
Seperti halnya raja-raja lainnya, Fondrakö juga dilakukan di Talu Nidanoi dan Laraga (daerah Gunungsitoli Idanoi dan Gunungsitoli Selatan) oleh dua raja besar di masa itu yakni Balugu Samönö Ba’uwudanö (Mado Harefa) dan Balugu Tuha Badanö (Mado Zebua). Seiring dengan perkembangan zaman dan pengenalan masyarakat akan agama maka kepercayaan akan kutuk tersebut sudah mulai berkurang (sekalipun masih ada yang hingga saat ini masih mempercayainya, terutama para tetua-tetua adat di Pulau Nias). Sementara hukuman pancung sudah mulai berkurang di Nias sejak kedatangan para misionaris yang menyebarkan agama kristen sejak tahun 1830.
Penulis pernah mendengar cerita dari para orang tua di masa kecil, bahwa apabila kedapatan orang yang berbuat zina maka akan dikenakan hukuman pancung baik pria maupun wanitanya. Dahulu, komunikasi antara pria dan wanita yang tidak memiliki hubungan saudara sangatlah dibatasi, apalagi bila sampai ketahuan pacaran. Dilarang mengganggu atau melirik anak gadis orang bahkan mengerlingkan mata sekalipun, apabila ketahuan maka bersiap-siaplah untuk digebuki oleh saudara-saudara si cewek. Pertengakaran antar kampung seringkali diawali oleh masalah “melirik atau mengganggu cewek” di masa lampau. Bahkan sekalipun sudah bertunangan, pria dan wanita tidak boleh bertemu. Mereka baru bisa bersama setelah menikah. Sistem perjodohan berlaku pada masa itu, seringkali pengantin perempuan baru mengenal wajah pengantin prianya setelah acara pernikahan. Sehingga apapun dan bagaimanapun kondisi yang menjadi pendampingnya harus diterima, sekalipun dia cacat ataupun sudah tua. Terima saja apa adanya.
Sumber cerita tentang Fondrako, diperoleh penulis dari bapak Ama Serlin Zebua, salah satu tokoh adat di Desa Tumori Kecamatan Gunungsitoli Barat.

Sumber:
http://sosbud.kompasiana.com/2013/02/19/fondrak-peraturan-dan-hukum-adat-nias-yang-mengutuk-536424.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar